Pekik Kemuliaan

Text
Aus der Reihe: Cincin Bertuah #4
0
Kritiken
Leseprobe
Als gelesen kennzeichnen
Wie Sie das Buch nach dem Kauf lesen
Pekik Kemuliaan
Schriftart:Kleiner AaGrößer Aa

PEKIK KEMULIAAN

(BUKU #4 DALAM CINCIN BERTUAH)

Morgan Rice

Tentang Morgan Rice

Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dan penulis terlaris USA Today dari serial fantasi epik CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tujuh belas buku; serial terlaris #1 HARIAN VAMPIR, yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); serial terlaris #1 THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN), sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan serial fantasi epik KINGS AND SORCERERS (PARA RAJA DAN PENYIHIR), yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah). Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, serta terjemahan yang tersedia dalam lebih dari 25 bahasa.

Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu untuk mengunjungi www.morganricebooks.com untuk bergabung di daftar surel, menerima buku gratis, menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis, mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke Facebook dan Twitter, dan tetap terhubung!

Pujian Pilihan untuk Morgan Rice

“Jika Anda merasa bahwa tidak ada lagi alasan tersisa untuk kehidupan setelah bagian akhir daro serial CINCN BERTUAH, Anda salah. Dalam RISE OF THE DRAGONS (KEBANGKITAN PARA NAGA), Morgan Rice muncul kembali dengan janji untuk membuat serial brilian lain, menenggelamkan kita dalam sebuah kisah fantasi dari para troll dan naga, tentang keberanian, kemuliaan, keteguhan hati, sihir, dan keyakinan dalam takdir. Morgan lagi-lagi berhasil membuat sekumpulan karakter kuat yang membuat kita bersorak untuk mereka di setiap halaman....Direkomendasikan untuk koleksi pustaka bagi semua pembaca yang menyukai kisah fantasi yang ditulis dengan baik.”

--Books and Movie Reviews

Roberto Mattos

“RISE OF THE DRAGONS (KEBANGKITAN PARA NAGA) sukses – sejak awal.... Sebuah kisah fantasi luar biasa.... Dimulai, sebagaimana mestinya, dengan perjuangan seorang protagonis dan bergerak rapi menuju lingkaran yang lebih luas yang terdiri dari para ksatria, naga, sihir, dan monster, serta takdir... Semua ornamen fantasi tingkat tinggi ada di sini, mulai dari prajurit dan pertempuran hingga konfrontasi dengan diri sendiri....Sebuah jawara yang direkomendasikan bagi siapa saja yang menyukai tulisan fantasi epik yang ditulis dengan baik dan dilengkapi oleh tokoh protagonis muda yang kuat dan terpercaya.”

--Midwest Book Review

D. Donovan, eBook Reviewer

“[RISE OF THE DRAGONS/KEBANGKITAN PARA NAGA] adalah novel yang digerakkan oleh plot, mudah dibaca di akhir pekan...Suatu awal yang bagus untuk serial yang menjanjikan.”

--San Francisco Book Review

“Aksi yang dikemas fantasi tentu akan menyenangkan para penggemar novel-novel Morgan Rice yang sebelumnya, beserta dengan karya penggemar seperti THE INHERITANCE CYCLE oleh Christopher Paolini…. Para Penggemar Fiksi Remaja akan mengganyang karya terbaru dari Rice ini dan meminta lebih banyak lagi.”

--The Wanderer, A Literary Journal (berdasarkan Rise of the Dragons/Kebangkitan Para Naga)

“Sebuah fantasi penuh semangat yang membelokkan unsur-unsur misteri dan intrik menjadi sebuah alur cerita. Perjuangan Para Pahlawan intinya adalah tentang membangkitkan keberanian dan tentang menyadari sebuah tujuan kehidupan yang mengarah pada pertumbuhan, kedewasaan, dan kesempurnaan...Bagi mereka yang mencari petualangan fantasi, tokoh-tokoh protagonis, peranti, dan aksi penuh makna yang memberikan serangkaian pertempuran hebat yang akan berfokus pada evolusi Thor mulai dari bocah pemimpi menjadi seorang remaja yang menghadapi peristiwa-peristiwa ganjil yang mustahil bisa bertahan hidup...Ini hanyalah awal dari janji untuk menjadi serial epik untuk remaja.”

--Midwest Book Review (D. Donovan, eBook Reviewer)

“CINCIN BERTUAH mempunyai semua resep kesuksesan: plot, plot titik balik, misteri, para ksatria pemberani dan hubungan antar tokoh yang diwarnai patah hati, tipu muslihat dan pengkhianatan. Anda akan terus terhibur selama berjam-jam, dan sesuai untuk semua usia. Direkomendasikan sebagai koleksi pustaka semua pecinta kisah.”

--Books and Movie Reviews, Roberto Mattos

“Fantasi epik menghibur dari Rice [CINCIN BERTUAH] meliputi ciri-ciri klasik dari genre itu—nuansa kuat yang sangat terinspirasi oleh Skotlandia kuno dan sejarahnya, dan sensasi intrik istina yang bagus.”

—Kirkus Reviews

“Saya menyukai bagaimana Morgan Rice membentuk karakter Thor dan dunia tempat tinggalnya. Lanskap dan makhluk-makhluk yang berkeliaran di sana digambarkan dengan sangat baik...Saya menikmati [plot]-nya. Plotnya pendek dan segar...Hanya ada karakter minor dengan jumlah yang tepat, jadi saya tidak kebingungan. Ada momen-momen petualangan dan mengerikan, namun aksi yang digambarkan tidak terlalu aneh. Buku ini akan sempurna bagi pembaca remaja...Awal dari sesuatu yang luar biasa ada di sana…”

--San Francisco Book Review

“Pada buku pertama yang dikemas aksi ini dalam serial fantasi epik Cincin Bertuah (yang saat ini terdiri dari 14 buku), Rice memperkenalkan kepada para pembaca, Thorgrin “Thor” McLeod yang berusia 14 tahun, yang bercita-cita untuk bergabung dengan Kesatuan Perak, ksatria elit yang mengabdi kepada raja...Tulisan Rice ini solid dan premisnya menggelitik.”

--Publishers Weekly

“[PETUALANGAN PARA PAHLAWAN] ringkas dan mudah dibaca. Bagian akhir babnya dibuat sehingga Anda harus membaca apa yang akan terjadi selanjutnya dan Anda tidak ingin meletakkannya. Ada beberapa kesalahan ketik pada buku itu dan beberapa nama kacau, namun itu tidak mengganggu keselutuhan kisah. Akhir dari buku ini membuat saya ingin mendapatkan buku selanjutnya segera dan itulah yang saya lakukan. Kesembilan buku dari serial Cincin Bertuah saat ini bisa dibeli di toko Kindle dan Perjuangan Para Pahlawan saat ini gratis sebagaii permulaan untuk Anda! Jika Anda mencari bacaan yang beralur cepat dan menyenangkan untuk dibaca saat sedang liburan, buku ini akan memberikannya dengan baik.”

--FantasyOnline.net

Buku-buku oleh Morgan Rice

RAJA DAN PENYIHIR

KEBANGKITAN PARA NAGA (Buku #1)

KEBANGKITAN SANG PEMBERANI (Buku #2)

CINCIN BERTUAH

PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

TAKDIR NAGA (Buku #3)

PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

RITUAL PEDANG (Buku #7)

SENJATA PUSAKA (Buku #8)

LANGIT MANTRA (Buku #9)

LAUTAN PERISAI (Buku #10)

TANGAN BESI (Buku #11)

DARATAN API (Buku #12)

SANG RATU (Buku #13)

SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)

IMPIAN FANA (Buku #15)

PERTANDINGAN PARA KSATRIA (Buku #16)

HADIAH PERTEMPURAN (Buku #17)

TRILOGI KESINTASAN

ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA DUA (Buku #2)

HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

CINTA (Buku #2)

KHIANAT (Buku #3)

TAKDIR (Buku #4)

DIDAMBAKAN (Buku #5)

TUNANGAN (Buku #6)

SUMPAH (Buku #7)

DITEMUKAN (Buku #8)

BANGKIT (Buku #9)

RINDU (Buku #10)

NASIB (Buku #11)


Mau buku gratis?


Berlangganan daftar surel Morgan Rice dan terimalah 4 buku gratis, 2 peta gratis, 1 aplikasi gratis, dan hadiah eksklusif! Untuk berlangganan, kunjungi: www.morganricebooks.com


Dengarkan serial CINCIN BERTUAH dalam format buku audio!

Hak Cipta © 2013 olah Morgan Rice

Semua hak dilindungi undang-undang. Kecuali diizinkan di bawah U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa direproduksi, didistribusikan atau dipindahtangankan dalam bentuk apapun atau dengan maksud apapun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.

eBuku ini terlisensi untuk hiburan personal Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silahkan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silahkan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.

Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.

Hak cipta gambar sampul oleh RazoomGame, digunakan di bawah lisensi dari Shutterstock.com.

DAFTAR ISI


BAB SATU

BAB DUA

BAB TIGA

BAB EMPAT

BAB LIMA

BAB ENAM

 

BAB TUJUH

BAB DELAPAN

BAB SEMBILAN

BAB SEPULUH

BAB SEBELAS

BAB DUA BELAS

BAB TIGA BELAS

BAB EMPAT BELAS

BAB LIMA BELAS

BAB ENAM BELAS

BAB TUJUH BELAS

BAB DELAPAN BELAS

BAB SEMBILAN BELAS

BAB DUA PULUH

BAB DUA PULUH SATU

BAB DUA PULUH DUA

BAB DUA PULUH TIGA

BAB DUA PULUH EMPAT

BAB DUA PULUH LIMA

BAB DUA PULUH ENAM

BAB DUA PULUH TUJUH

BAB DUA PULUH DELAPAN

BAB DUA PULUH SEMBILAN

BAB TIGA PULUH

BAB TIGA PULUH SATU

BAB TIGA PULUH DUA

BAB TIGA PULUH TIGA

BAB TIGA PULUH EMPAT

BAB TIGA PULUH LIMA

BAB DUA PULUH ENAM

BAB TIGA PULUH TUJUH

BAB TIGA PULUH DELAPAN

BAB TIGA PULUH SEMBILAN

“Janganlah takut pada orang-orang hebat:

beberapa sudah hebat sejak lahir,

beberapa mendapatkannya dengan perjuangan,

dan beberapa memiliki dorongan untuk menjadi hebat di dalam dirinya.”


—William Shakespeare

Malam ke-12

BAB SATU

Luanda bergegas menyeberangi medan pertempuran, menghindari kuda yang meringkik ketika ia hampir mencapai rumah kecil tempat di mana Raja Mc Cloud tinggal. Ia mencengkeram pasak besi dingin di tangannya, gemetar, saat ia menyeberangi halaman berdebu kota yang pernah dikenalnya, kota milik rakyatnya. Ia telah dipaksa selama berbulan-bulan untuk menyaksikan mereka dibantai – dan ia merasa muak. Ada sesuatu menghujam dalam dirinya. Ia tak peduli seandainya ia harus melawan seluruh prajurit McCloud- ia akan melakukan apapun untuk menghentikan pembantaian itu.

Luanda tahu bahwa apa yang akan dilakukannya adalah sesuatu hal yang gila, bahwa ia sedang mempertaruhkan nyawanya dan bahwa McCloud pasti akan membunuhnya. Namun ia menyingkirkan segala pemikiran itu seketika ia berlari. Waktunya telah tiba untuk melakukan sesuatu yang benar- apapun risikonya.

Di seberang medan pertempuran yang riuh, di tengah-tengah para prajurit, ia melihat McCloud di kejauhan, menyeret seorang gadis malang yang menjerit ke sebuah rumah bobrok-rumah kecil beratap jerami. Ia membanting pintu di belakangnya, membuat debu beterbangan.

“Luanda!” teriak sebuah suara.

Ia berbalik dan melihat Bronson, sekitar beberapa ratus yard di belakangnya, mengejarnya. Langkahnya terganggu oleh barisan kuda dan prajurit, memaksanya berhenti beberapa kali.

Sekaranglah kesempatannya. Jika Bronson berhasil mendekatinya, ia akan mencegahnya melakukan hal itu.

Luanda mempercepat langkahnya, terus menggenggam pasak dan mencoba untuk tak berpikir betapa gilanya hal yang akan ia lakukan, betapa tipisnya kesempatannya. Jika seluruh prajurit tak bisa menghalangi McCloud, jika para jendralnya, anaknya sendiri takluk kepadanya, adakah kesempatan baginya melakukan hal itu seorang diri?

Terlebih lagi, Luanda tak pernah membunuh seorang pun sebelumnya, apalagi pria dengan perawakan tinggi seperti McCloud. Apakah ia akan terpaku ketika saatnya tiba? Dapatkah ia mengendap-endap ke arahnya? Apakah benar ia seseorang yang tak dapat dikalahkan, sebagaimana dikatakan Bronson?

Ia merasa miris dengan tumpahnya darah para prajurit, pada kekacauan di negerinya. Ia menyesal telah menikah dengan seorang McCloud, meski ia mencintai Bronson. Sepanjang pengetahuannya, orang-orang McCloud adalah kaum yang ganas, tanpa belas kasihan. Orang-orang McGil beruntung karena Pegunungan memisahkan mereka, Luanda menyadarinya sekarang, dan mereka tinggal di tempat mereka di sisi lain Cincin. Ia telah naïf, telah sangat bodoh berasumsi bahwa McCloud tak seburuk apa yang pernah dikatakan kepadanya. Ia pikir ia bisa mengubah mereka, bahwa dengan berkesempatan menjadi seorang putri McCloud-dan ratu suatu hari nanti-bagaimanapun juga akan setimpal, apapun risikonya.

Tapi sekarang ia tahu bahwa ia salah. Ia akan menyerahkan segalanya-menyerahkan gelarnya, kekayaannya, kegemilangannya, semuanya-untuk tak pernah bertemu lagi dengan orang-orang McCloud, untuk pulang dengan selamat pada keluarganya di sisi lain Cincin. Ia marah pada ayahnya karena telah mengatur pernikahan ini, ia masih muda dan naïf, tapi seharusnya ayahnya tahu lebih banyak. Apakah politik sangat penting baginya hingga musti mengorbankan putrinya? Ia juga marah kepadanya karena ayahnya telah meninggal, meninggalkannya sendirian dengan semua ini.

Luanda telah belajar banyak beberapa bulan belakangan ini untuk hanya bergantung pada dirinya sendiri. Dan sekarang adalah kesempatannya untuk meluruskan banyak hal.

Tubuhnya gemetar begitu ia sampaidi rumah jerami kecil, yang gelap, berpintu kayu oak dan pintu tertutup. Ia berbalik dan menoleh ke kanan-kiri, berjaga-jaga jika ada anak buah McCloud yang datang menghalanginya. Namun ia lega karena mereka semua terlalu sibuk dengan malapetaka yang mereka buat sendiri.

Ia menggapai dengan pasak di satu tangan dan meraih gagang pintu, memutarnya perlahan sebisanya, berdoa semoga kehadirannya tak diketahui McCloud.

Luanda melangkah masuk. Ruangan itu gelap dan matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan dari sinar matahari yang terang kota putih. Udara di sini dingin, ia melangkah melewati ambang pintu rumah kecil itu. Hal pertama yang didengarnya adalah jeritan dan tangisan si gadis. Saat matanya telah terbiasa ia melihat ke dalam rumah dan di sana ada McCloud, tanpa busana dari pinggang ke bawah. Ia ada di lantai, gadis itu telanjang, meronta-ronta di bawahnya. Gadis itu menangis dan menjerit, matanya terbelalak, sementara McCloud mencengkeram dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya yang gemuk.

Luanda sulit percaya bahwa semua itu nyata, bahwa ia akan mengakhiri semua ini. Ia melangkah maju dengan ragu, tangannya gemetaran, lututnya terasa lemah dan ia berdoa agar memiliki kekuatan untuk melaluinya. Ia menggenggam pasak seolah-olah itulah takdirnya.

Tuhan, tolong biarkan aku membunuh pria ini.

Ia mendengar McCloud menggeram seperti binatang buas, karena telah terpuaskan. Ia kejam. Jeritan si gadis seakan malah memperkuat setiap gerakannya.

Luanda melangkah lagi, dan lagi, dan begitu dekat. Ia melihat McCloud di bawah, menatap tubuhnya, mencoba memutuskan tempat terbaik untuk menyerang. Untungnya ia telah melepaskan baju zirahnya dan hanya memakai selembar pakaian tipis yang basah oleh keringat. Luanda dapat mencium baunya dan ia takut. Melepaskan senjatanya adalah langkah ceroboh bagi McCloud dan itu, bagi Luanda, adalah kesalahan terakhirnya. Luanda akan mengangkat pasak tinggi-tinggi dengan kedua tangannya dan menusukkannya ke punggung McCloud.

Ketika geraman McCloud mencapai puncaknya, Luanda mengangkat pasaknya tinggi-tinggi. Ia berpikir tentang bagaimana hidupnya akan berubah sesudah ini, bahwa dalam beberapa detik semuanya tak akan sama lagi. Kerajaan McCloud akan terbebas dari raja tiran ini; rakyatnya akan terhindar dari kehancuran. Suaminya akan dinobatkan dan menggantikan posisinya, dan akhirnya, semua akan menjadi baik.

Luanda terpaku di sana, membeku karena takut. Ia menggigil. Jika ia tak bertindak sekarang, kapan lagi.

Ia menahan nafasnya, mengambil satu langkah terakhir, menggenggam pasak dengan kedua tangannya dan meluncur turun ke bawah, berusaha menusukkan pasak ke bawah dengan segala kekuatannya, bersiap-siap mengarahkannya ke punggung pria itu.

Namun terjadi sesuatu yang tak diharapkannya, dan semuanya terjadi begitu samar, terlalu cepat baginya untuk bertindak: pada detik terakhir McCloud berguling ke samping. Bagi seorang pria tambun, ia terlalu cepat daripada perkiraan Luanda. Ia menghindar, meninggalkan gadis di bawahnya. Luanda terlambat menghentikannya.

Pasak besi itu meluncur turun, dan Luanda yang dicekam ketakutan menusukkannya ke dada gadis itu.

Gadis itu terduduk, memekik dan dan Luanda merasa bersalah ketika pasaknya menusuk daging gadis itu dalam-dalam, sampai ke jantungnya. Darah mengalir dari mulutnya dan ia melihat ke arah Luanda, ketakutan, terkhianati.

Akhirnya ia terhempas, tewas.

Luanda jatuh berlutut di sana, merasa trauma, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Sebelum ia bisa melakukannya, sebelum ia menyadari bahwa McCloud selamat, ia merasakan sisi wajahnya seperti tersengat, dan ia merasa dirinya hancur lebur.

Ketika dunianya menjadi gelap, ia tak sadar bahwa McCloud telah memukulnya, sebuah ledakan kuat yang melontarkannya. McCloud telah mengetahui setiap langkahnya sejak ia masuk ke ruangan. Ia sengaja membiarkannya. Ia menunggu saatnya, ia menunggu saat yang tepat untuk tak hanya menghindar dari serangan Luanda. Tapi juga untuk mengelabuinya hingga membunuh gadis malang itu pada saat yang sama, untuk meletakkan rasa bersalah itu di kepalanya.

Sebelum dunianya menjadi gelap, Luanda menangkap seberkas wajah McCloud. Ia menyeringai ke arahnya dengan mulut terbuka, nafas memburu seperti binatang. Hal terakhir yang ia dengar, sebelum botnya terangkat dan mengenai wajahnya, adalah suaranya yang kejam, terlontar seperti hewan:

“Kau telah membantuku,” katanya. “Lagipula aku sudah selesai dengan gadis itu.”

BAB DUA

Gwendolyn berlari kalut di tepi jalan di tempat terburuk Istana Raja, air mata mengalir di pipinya ketika ia berlari meninggalkan kastil, mencoba berlari sejauh mungkin dari Gareth sebisanya. Hatinya masih membara karena pertengkaran mereka, karena melihat Firth tergantung, karena ia mendengar ancaman Gareth. Ia dengan putus asa mencoba mencari kebenaran dari kebohongannya. Tapi dalam pikiran Gareth yang tak wraas, kebenaran dan kebohongan bercampur baur, dan sulit memahami mana yang benar. Apakah ia mencoba menakutinya? Atau apakah ia mengatakan yang sejujurnya?

Gwendolyn telah melihat tubuh Firth yang terjuntai dengan mata kepalanya sendiri, dan itu mengatakan padanya bahwa mungkin saat ini semua yang dikatakan Gareth memang benar. Mungkin Godfrey memang telah diracun; mungkin ia memang telah dijodohkan untuk menikah dengan Nevaruns; dan mungkin kini Thor sedang disergap. Pemikiran tentang semua itu membuatnya merasa ngeri.

Ia merasa putus asa saat ia berlari. Ia harus membenahi semuanya. Ia tak dapat menemui Thor, tapi ia dapat menemui Godfrey untuk memastikan apakah iamemang telah diracun-dan apakah ia masih hidup.

 

Gwendolyn mempercepat langkahnya menuju bagian kota yang lusuh, keheranan menemukan dirinya kembali ke tempat ini lagi, dua kali dalam beberapa hari ke bagian paling menjijikkan di Kerajaan, di mana ia sudah bersumpah untuk tak mendatanginya lagi. Jika Godfrey memang telah diracun, ia tahu bahwa itu akan terjadi di kedai minum. Di mana lagi? Ia marah padaGodfrey karena kembali ke tempat itu, karena menurunkan kewaspadaannya, karena menjadi ceroboh. Tapi lebih dari segalanya, Gwen mengkhawatirkan dirinya. Ia menyadari betapa ia sangat menyayangi kakaknya itu beberapa hari terakhir ini. Bayangan akan kehilangannya, apalagi sesudah meninggalnya ayahnya, menyisakan sebuah lubang dalam hatinya. Ia, bagaimanapun, merasa harus bertanggung jawab.

Ia merasakan ketakutan yang nyata ketika ia berlari di sepanjang jalan, dan bukan karena para pemabuk dan bandit di sekitarnya; namun rasa takut pada kakaknya, Gareth. Ia terlihat seperti iblis pada pertemuan terakhir mereka, dan ia tidak dapat melepaskan bayangan akan wajahnya, akan matanya, dari pikirannya-begitu gelap, begitu keji. Ia tampak dikuasai sesuatu. Bahwa ia telah duduk di singgasana ayahnya, membuat segalanya tampak lebih dari nyata. Ia takut pada hukuman dari kakaknya. Mungkin ia memang telah berencana menikahkan dirinya, sesuatu yang tak pernah ia inginkan. Atau mungkin Gareth ingin mengurungnya, dan ia mungkin berencana membunuhnya. Gwen melihat sekeliling, dan saat ia berlari, semua wajah tampak memusuhinya, tampak asing. Semua orang tampak seperti ancaman untuknya, yang dikirim Gareth untuk menghabisinya. Ia menjadi paranoid.

Gwen berbelok dan bahunya bertubrukan dengan seorang pemabuk tua-yang membuatnya kehilangan keseimbangan. Gwen melompat dan berseru marah. Ia sangat tegang. Beberapa saat baru Gwen menyadari bahwa orang itu hanya seorang pejalan yang ceroboh, dan bukan anak buah Gareth. Ia berbalik dan melihatnya menjauh, tidak berbalik ke arahnya untuk meinta maaf. Kebusukan bagian kota ini lebih dari memuakkan baginya. Jika bukan karena Godfrey ia tak akan mendekatinya, dan ia membenci Godfrey karena membuatnya terpaksa melakukan ini. Mengapa ia tidak menjauh saja dari kedai minum?

Gwen kembali berbelok dan itulah dia: kedai minumnya Godfrey, masih berdiri, bobrok, pintu ternganga dan para pemabuk keluar dari sana, seperti biasanya. Gwen tak membuang waktu. dan ia segera bergegas menuju pintu yang terbuka.

Matanya butuh beberapa saat untuk menyesuaikan diri dengan bar yang remang-remang, yang dipenuhi bau bir dan bau keringat. Ruangan itu menjadi senyap saat ia masuk. Dua lusin atau lebih pria di dalamnya berpaling dan melihat ke arahnya, tertegun. Di sanalah Gwen, anggota keluarga kerajaan, dengan gaun berkilauan, bergegas masuk ke ruangan yang mungkin tak pernah dibersihkan selama bertahun-tahun.

Ia berderap menuju seorang pria tinggi dengan perut besar yang dikenalnya sebagai Akorth, salah satu teman minum Godfrey.

“Di mana kakakku? “ tanya Gwen.

Akorth yang biasanya berapi-api, biasanya siap melontarkan gurauan konyol yang terlalu memuaskannya, di luar dugaan Gwen: ia menggelengkan kepalanya.

“Tidak terlalu baik, nona,” katanya, muram.

“Apa maksudmu?” bentaknya, jantungnya berdetak keras.

“Ia minum bir yang buruk,” kata seorang pria tinggi dan bungkuk yang dikenalnya sebagai Fulton, teman minum Godfrey yang lainnya. “Ia jatuh pingsan tengah malam tadi. Belum sadar.”

“Apakah ia masih hidup?” tanya Gwen histeris, mencengkeram pergelangan tangan Akorth.

“Mungkin tidak,” jawabnya, menunduk. “Ia mengalami sesuatu. Ia berhenti bicara sejak satu jam yang lalu.”

“Di mana dia?” bentaknya.

“Di belakang, tuanku,” kata penjaga bar, sambil membungkuk di bar dan menyeka sebuah tangki bir, nampak murung. “Dan sebaiknya kau punya rencana untuknya. Aku tak mau ada mayat di tempat usahaku.”

Gwen, tampak kesal, mendadak mencabut sebuah belati kecil, mencondongkan tubuhnya dan mengarahkan pisaunya ke arah leher si penjaga bar.

Penjaga bar itu tercekat, melihat ke arah Gwen dengan terkejut, tempat itu mendadak menjadi senyap.

“Pertama-tama,” katanya, “tempat ini bukan tempat usaha – ini hanya sebuah saluran got dan akan kuperintahkan pengawal kerajaan untuk meratakannya dengan tanah kalau kau berbicara seperti itu lagi padaku. Kau boleh memanggilku dengan sebutan tuanku.”

Gwen merasa dirinya tidak ada di sana, dan terpana karena ada sebuah kekuatan menggerakkannya; dan ia tak tahu dari mana datangnya.

Penjaga bar menelan ludahnya.

“Tuanku,” suaranya bergema.

Gwen menahan belatinya dengan waspada.

“Kedua, kakakku tidak boleh mati – tidak di tempat ini. Jenazahnya akan memberikan kehormatan pada tempat usahamu lebih daripada jiwa hidup manapun yang mati di sini. Dan jika memang ia telah mati, itu adalah kesalahanmu.”

“Tapi saya tidak melakukan apapun, tuanku!” protesnya. “Ia minum bir yang sama dengan yang lainnya!”

“Seseorang pasti telah meracunnya,” tambah Akorth.

“Siapapun bisa melakukannya,” kata Fulton.

Gwen menurunkan belatinya perlahan.

“Bawa aku kepadanya. Sekarang!” perintah Gwen.

Penjaga bar menundukkan kepalanya dengan malu kali ini, berbali dan bergegas masuk ke sebuah pintu di belakang bar. Gwen mengikutinya. Akorth dan Fulton bergabung bersamanya.

Gwen masuk ke sebuah kamar kecil di belakang kedai dan ia berseru saat melihat kakaknya, Godfrey, terkapar di lantai, terlentang. Ia tampak lebih pucat daripada biasanya. Ia tampak tengah sekarat. Semua itu ternyata benar.

Gwen berjalan ke arah Godfrey, meraih kepalanya yang terasa dingin dan lembab. Ia tidak bereaksi, kepalanya terkulai di lantai, tak bercukur, rambutnya yang acak-acakan terjuntai di dahinya. Tapi Gwen merasakan nadinya, meski lemah tapi ia masih hidup. Gwen melihat dada Godfrey terangkat dan bernafas lemah. Ia masih hidup.

Gwen merasa dirinya dipenuhi dengan amarah.

“Bagaimana bisa kau meninggalkan dia di sini seperti ini?” teriaknya, memarahi penjaga bar. “Kakakku, anggota keluarga kerajaan, dibiarkan terkapar di sini seperti anjing saat ia sedang sekarat?”

Penjaga bar itu menelan ludahnya, tampak gugup.

“Dan apa yang bisa kulakukan, tuanku?” tanyanya, terdengar tidak yakin. “Tempat ini bukan rumah sakit. Semua orang mengatakan ia pasti akan mati dan –“

“Ia tidak mati!” teriaknya. “Dan kalian berdua,” katanya, berpaling pada Akorth dan Fulton. “teman macam apa kalian? Apakah ia akan meninggalkan kalian seperti ini?”

Akorth dan Fulton saling berpandangan dengan tatapan menurut.

“Maafkan aku,” kata Akorth. “Dokter datang tadi malam dan ia melihatnya dan ia bilang Godfrey sekarat-dan tinggal menunggu ajalnya tiba. Aku kira tak ada apapun yang bisa dilakukan.”

“Kami menjaganya sepanjang malam, tuanku,” tambah Fulton,”di sisinya. Kami hanya rehat sebentar, minum untuk melupakan duka cita kami, lalu kau datang dan –“

Gwen meraih dan dengan murka merebut botol bir dari tangan mereka berdua dan melemparkannya ke lantai. Cairan itu berceceran di lantai. Mereka berdua memandang ke arah Gwen, terkejut.

“Kalian berdua, bawa dia,” perintahnya dingin, lalu berdiri, merasa ada kekuatan baru bangkit dalam dirinya. “Kalian akan membawanya pergi dari tempat ini. Kalian akan mengikutiku melewati Istana Raja sampai kita sampai di Tabib Kerajaan. Kakakku akan mendapatkan pengobatan yang sesungguhnya, dan tak akan dibiarkan mati hanya karena asumsi seorang dokter yang tidak jelas.

“Dan kau,” tambahnya, berbalik ke arah penjaga bar. “Kalau kakakku selamat, dan jika ia kembali ke tempat ini dan kau memberi dia minum, aku pastikan bahwa kau akan dikirim ke penjara bawah tanah dan tak akan pernah keluar lagi.”

Penjaga bar terpaku di tempatnya dan semakin menundukkan kepalanya.

“Sekarang, jalan!” teriaknya.

Akorth dan Fulton tersentak, dan segera bertindak. Gwen bergegas meninggalkan kamar, kedua orang itu ada di belakangnya, membopong kakaknya, mengikutinya pergi dari bar dan menuju terik matahari.

Mereka berjalan terburu-buru di tengah padatnya jalanan Istana Raja, pergi mencari tabib, dan Gwen berdoa semoga ia tidak terlambat.