Cinta

Text
Aus der Reihe: Jurnal Vampir #2
0
Kritiken
Leseprobe
Als gelesen kennzeichnen
Wie Sie das Buch nach dem Kauf lesen
Schriftart:Kleiner AaGrößer Aa

cinta

(buku #2 dalam Harian Vampir)

morgan rice

Morgan Rice adalah penulis terlaris #1 dan penulis terlaris USA Today dari serial fantasi epik CINCIN BERTUAH, yang terdiri dari tujuh belas buku; serial terlaris #1 HARIAN VAMPIR, yang terdiri dari sebelas buku (dan terus bertambah); serial terlaris #1 THE SURVIVAL TRILOGY (TRILOGI KESINTASAN), sebuah thriller pasca-apokaliptik yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah); dan serial fantasi epik KINGS AND SORCERERS (PARA RAJA DAN PENYIHIR), yang terdiri dari dua buku (dan terus bertambah). Buku-buku Morgan tersedia dalam edisi audio dan cetak, serta terjemahan yang tersedia dalam lebih dari 25 bahasa.

PENJELMAAN (Buku #1 dalam HARIAN VAMPIR), ARENA SATU (Buku #1 dari Trilogi Kesintasan) dan PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1 dalam Cincin Bertuah) dan KEBANGKITAN PARA NAGA (Raja dan Penyihir—Buku #1) yang masing-masing tersedia sebagai unduhan gratis!

Morgan ingin mendengar pendapat Anda, jadi jangan ragu untuk mengunjungi www.morganricebooks.com untuk bergabung di daftar e-mail, menerima buku gratis, menerima hadiah gratis, mengunduh aplikasi gratis, mendapatkan berita eksklusif terbaru, terhubung ke Facebook dan Twitter, dan tetap terhubung!

Pujian Pilihan untuk Morgan Rice

"Sebuah buku rival dari TWILIGHT dan VAMPIRE DIARIES, dan satu-satunya yang akan membuat Anda ingin terus membacanya sampai halaman terakhir! Jika Anda menyukai petualangan, cinta, dan vampir, buku inilah yang tepat bagi Anda!"

--Vampirebooksite.com {berdasarkan Penjelmaan}

“Rice melakukan pekerjaan yang bagus mendorong Anda ke dalam kisah ini dari awal, memanfaatkan kualitas deskriptif yang hebat yang melampaui penggambaran setting semata… Ditulis dengan indah dan sangat cepat dibacanya.”

--Black Lagoon Reviews (berdasarkan Penjelmaan)

"Adalah suatu kisah yang ideal bagi para pembaca muda. Morgan Rice melakukan pekerjaan yang bagus dengan memutarbalikkan lika-liku yang menarik...Menyegarkan dan unik. Serial yang berfokus di sekitar seorang anak perempuan… anak perempuan yang luar biasa!... PENJELMAAN mudah dibaca tapi bertempo cepat... Diberi peringkat PG."

--The Romance Reviews (berdasarkan Penjelmaan)

"Mencuri perhatian saya dari awal dan tidak dapat lepas….Kisah ini merupakan sebuah petualangan menakjubkan yang bertempo cepat dan aksi yang dikemas sejak awal. Tidak ditemukan momen yang membosankan."

--Paranormal Romance Guild (berdasarkan Penjelmaan)

"Kesulitan yang dikemas dengan aksi, romansa, petualangan, dan ketegangan. Dapatkan buku yang satu ini dan jatuh cinta lagi dan lagi."

--vampirebooksite.com (berdasarkan Penjelmaan)

"Alur yang bagus, dan khususnya, ini adalah buku yang akan sulit Anda tinggalkan di malam hari. Bagian akhirnya sangat menegangkan yang begitu spektakuler sehingga Anda segera ingin membeli buku selanjutnya, hanya untuk melihat apa yang akan terjadi."

--The Dallas Examiner (berdasarkan Cinta)

"Morgan Rice membuktikan dirinya lagi dengan menjadi penulis kisah yang sangat bertalenta... Buku ini akan menarik berbagai macam audiens, termasuk para penggemar yang lebih muda dari genre vampir/fantasi. Buku ini diakhiri dengan ketegangan yang menyisakan keterkejutan bagi Anda."

--The Romance Reviews (berdasarkan Cinta)

Buku-buku oleh Morgan Rice

RAJA DAN PENYIHIR

KEBANGKITAN PARA NAGA (Buku #1)

KEBANGKITAN SANG PEMBERANI (Buku #2)

CINCIN BERTUAH

PERJUANGAN PARA PAHLAWAN (Buku #1)

BARISAN PARA RAJA (Buku #2)

TAKDIR NAGA (Buku #3)

PEKIK KEMULIAAN (Buku #4)

IKRAR KEMENANGAN (Buku #5)

PERINTAH KEBERANIAN (Buku #6)

RITUAL PEDANG (Buku #7)

SENJATA PUSAKA (Buku #8)

LANGIT MANTRA (Buku #9)

LAUTAN PERISAI (Buku #10)

TANGAN BESI (Buku #11)

DARATAN API (Buku #12)

SANG RATU (Buku #13)

SUMPAH PARA SAUDARA (Buku #14)

IMPIAN FANA (Buku #15)

PERTANDINGAN PARA KSATRIA (Buku #16)

HADIAH PERTEMPURAN (Buku #17)

TRILOGI KESINTASAN

ARENA SATU: BUDAK-BUDAK SUNNER (Buku #1)

ARENA DUA (Buku #2)

HARIAN VAMPIR

PENJELMAAN (Buku #1)

CINTA (Buku #2)

KHIANAT (Buku #3)

TAKDIR (Buku #4)

DIDAMBAKAN (Buku #5)

TUNANGAN (Buku #6)

SUMPAH (Buku #7)

DITEMUKAN (Buku #8)

BANGKIT (Buku #9)

RINDU (Buku #10)

NASIB (Buku #11)



DAFTAR ISI

SATU

DUA

TIGA

EMPAT

LIMA

ENAM

TUJUH

DELAPAN

SEMBILAN

SEPULUH

SEBELAS

DUA BELAS

TIGA BELAS

EMPAT BELAS

LIMA BELAS

ENAM BELAS

TUJUH BELAS

DELAPAN BELAS

SEMBILAN BELAS

DUA PULUH

DUA PULUH SATU

DUA PULUH DUA

DUA PULUH TIGA

DUA PULUH EMPAT

DUA PULUH LIMA

DUA PULUH ENAM

DUA PULUH TUJUH

TWENTY EIGHT

DUA PULUH SEMBILAN

Hak cipta © 2011 oleh Morgan Rice

Semua hak cipta dilindungi Undang-Undang. Kecuali diizinkan menurut U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa direproduksi, didistribusikan, atau dipindahtangankan dalam bentuk apa pun atau dengan maksud apa pun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.

eBuku ini terlisensi untuk hiburan pribadi Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silakan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silakan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.

Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.

FAKTA:

Di Salem, pada tahun 1692, selusin remaja wanita, dikenal sebagai "the afflicted (yang tertindas)," mengalami penyakit misterius yang membuat mereka menjadi histeris dan masing-masing berteriak bahwa dukun setempat telah menyiksa mereka. Peristiwa ini menyebabkan serangkaian penelitian dukun Salem.

Penyakit misterius yang telah menggerogoti para remaja wanita ini tidak pernah, hingga saat ini, dapat dijelaskan.

"Malam ini, dia bermimpi melihat patungku,

Yang menyerupai sebuah air mancur dengan ratusan seringai,

Yang mengalirkan darah segar: dan banyak orang Roma yang bernafsu

Datang dengan tersenyum, dan membasuh tangan mereka di dalamnya:

Dan karena inilah dia menganggapnya sebagai peringatan, dan pertanda,

Dan kejahatan semakin mendekat..."

--William Shakespeare, Julius Caesar

SATU

Lembah Hudson, New York

 

(Masa Kini)

Untuk pertama kalinya dalam minggu ini, Caitlin Paine merasa tenang. Caitlin duduk dengan nyaman di lantai lumbung kecil, dia dia bersandar di atas jerami, dan menghela napas. Api kecil berkobar di perapian batu sekitar sepuluh kaki jauhnya; dia baru saja menambahkan sebatang kayu, dan merasa tenang oleh suara keretakan kayu. Bulan Maret masih belum berakhir, dan malam ini terasa paling dingin. Jendela yang ada jauh di dinding menampakkan sebuah pemandangan langit malam, dan dia bisa melihat salju masih berjatuhan.

lumbung itu tanpa pemanas, tapi dia duduk cukup dekat dengan perapian untuk menghangatkan dirinya. Dia merasa sangat nyaman, dan merasakan matanya semakin berat. Bau dari perapian menyelubungi lumbung itu, dan ketika dia semakin merebahkan badannya, dia bisa merasakan ketegangan mulai meninggalkan bahu dan kakinya.

Tentu saja, alasan sesungguhnya dari rasa damainya, yang dia sadari, bukanlah dari perapian, atau jerami, atau bahkan naungan lumbung itu. Itu adalah karena dia. Caleb. Ia duduk dan memandangi Caleb.

Dia berbaring di hadapannya, sekitar lima belas kaki jauhnya, masih begitu sempurna. Dia tertidur, dan ia mengambil kesempatan itu untuk mengamati wajahnya, sosok yang sempurna, kulitnya yang pucat dan seperti kaca. Ia tidak pernah melihat sosok yang terpahat begitu sempurna. Sosoknya nyata, seperti memandangi sebuah patung. Ia tidak bisa memahami bagaimana dia telah hidup selama 3.000 tahun. Caitlin, yang berusia 18 tahun, sudah nampak lebih tua darinya.

Tapi semua itu lebih dari sosoknya. Ada suatu suasananya dirinya, sebuah energi lembut yang dia pancarkan. Suatu suasana yang sangat damai. Ketika ia ada di dekatnya, ia tahu bahwa semua hal akan baik-baik saja.

Ia sangat gembira dia masih ada di sana, masih bersama dengan dirinya. Dan ia membiarkan dirinya sendiri berharap bahwa mereka akan tetap bersama. Namun ketika memikirkannya, ia memaki dirinya sendiri, mengetahui bahwa ia menempatkan dirinya dalam masalah. Laki-laki memang seperti itu, ia tahu, jangan menempel terus. Itu bukanlah seperti sifat mereka.

Caleb tidur dengan nyenyak, dia mengambil napas pendek, yang membuat Caitlin sulit menyimpulkan apakah dia benar-benar tertidur. Tadi dia harus pergi, untuk bersantap, katanya. Dia telah kembali dengan lebih tenang, membawa setumpuk kayu, dan dia menemukan sebuah cara untuk menutup pintu lumbung supaya salju tidak masuk. Dia telah menyalakan api, dan sekarang dia telah tertidur, sedangkan ia tetap terjaga.

Ia mengulurkan tangan dan meneguk segelas anggur merah, dan merasakan cairan hangat itu membuatnya tenang secara perlahan. Ia menemukan botol anggur itu dalam sebuah peti tersembunyi, di bawah tumpukan jerami; ia ingat ketika adiknya, Sam menyembunyikannya di sana, beberapa bulan yang lalu, dan untuk iseng saja. Ia tidak pernah minum, tapi ia tidak melihat ada bahaya dalam beberapa tegukan, khususnya setelah apa yang ia lalui.

Ia memegang buku hariannya di atas pangkuan, membuka-buka halaman, sebuah pena di satu tangan dan gelas di tangan lainnya. Ia telah memegangnya selama 20 menit. Ia tidak punya gagasan dari mana ia harus memulainya. Ia tidak penah mengalami kesulitan menulis buku harian sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Peristiwa-peristiwa pada beberapa hari terakhir ini berlangsung begitu dramatis, terlalu sulit untuk dipahami. Ini adalah pertama kalinya ia duduk tenang dan santai. Pertama kalinya ia merasa sangat aman.

Ia telah memutuskan bahwa yang terbaik adalah memulai dari awal. Apa saja yang telah terjadi. Mengapa ia berada di sini. Siapakah dirinya. Ia harus memahaminya. Ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa menjawab semua pertanyaan itu.

*

Sampai minggu kemarin, hidupnya normal. Aku sesungguhnya mulai menyukai Oakville. Kemudian suatu hari Ibu tiba-tiba mengumumkan kami akan pindah. Lagi. Hidup berubah total, seperti yang selalu terjadi dengannya.

Kali ini adalah yang terburuk. Itu bukanlah daerah pinggiran lainnya. Tempat itu adalah New York. Sebagaimana di perkotaan. Sekolah umum dan hidup di antara beton. Dan sebuah lingkungan yang berbahaya.

Sam juga merasa jengkel. Kami berbincang-bincang tentang tidak melanjutkan hal itu, tentang kepergian. Namun sesungguhnya adalah, kami tidak punya tempat lagi untuk pergi.

Jadi kami pergi bersama. Kami berdua bersumpah secara diam-diam bahwa jika kami tidak menyukainya, kami akan pergi. Mencari suatu tempat. Di mana saja. Mungkin bahkan mencoba mencari Ayah lagi, meski kami berdua tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi.

Dan kemudian semua hal itu terjadi. Begitu cepat. Tubuhku. Berubah. Menjelma. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, atau menjadi siapa aku ini. Tapi aku tahu, aku bukan orang yang sama lagi.

Aku ingat malam paling menentukan ketika semua hal ini berawal. Gedung Carnegie. Kencanku dengan Jonah. Dan kemudian...rehat. Santapan...ku? Membunuh seseorang? Aku masih tidak bisa mengingatnya. Aku hanya tahu dari apa yang telah mereka katakan kepadaku. Aku tahu bahwa aku telah melakukan sesuatu malam itu, tapi itu semua samar-samar. Apa pun yang telah aku lakukan, itu masih terasa seperti sebuah lubang dalam perutku. Aku tidak pernah mau menyakiti siapa pun.

Hari berikutnya, aku merasakan perubahan dalam diriku. Aku memang menjadi lebih kuat, lebih cepat, lebih sensitif terhadap cahaya. Aku juga mencium bau-bauan. Hewan-hewan bertingkah aneh di sekitarku, dan aku merasakan diriku bertingkah aneh di dekat hewan.

Dan kemudian ibu datang. Mengatakan kepadaku bahwa dia bukanlah ibuku yang sesungguhnya, dan kemudian terbunuh oleh vampir-vampir itu, vampir yang mengejarku. Aku tidak pernah menginginkan melihatnya disakiti seperti itu. Aku masih merasa bahwa itu semua adalah kesalahanku. Tapi juga dengan hal-hal lain, aku tidak bisa membiarkan diriku melakukannya. Aku harus fokus pada apa yang ada di hadapanku, apa yang bisa aku kendalikan.

Aku tadinya tertangkap. Oleh vampir-vampir mengerikan itu. Dan kemudian, pelarianku. Caleb. Tanpanya, aku yakin mereka sudah membunuhku. Atau bisa lebih buruk lagi.

Covennya Caleb. Orang-orangnya. Begitu berbeda. Tapi para vampir, semuanya sama saja. Teritorial. Cemburu. Curiga. Mereka mengusirku, dan mereka tidak memberinya pilihan.

Tapi dia telah memilih. Meskipun demikian, dia memilihku. Sekali lagi, dia telah menyelamatkan aku. Dia mempertaruhkan segalanya untukku. Aku mencintainya karena itu. Lebih dari yang dia ketahui.

Aku harus membantunya kembali. Dia merasa aku adalah yang terpilih, sesuatu semacam juru selamat vampir. Dia percaya aku akan membimbingnya ke semacam pedang yang hilang, yang akan menghentikan perang vampir dan menyelamatkan semua orang. Secara pribadi, aku tidak memercayainya. Orang-orangnya sendiri tidak memercayainya. Tapi aku tahu bahwa hanya itu yang dia miliki, dan itu berarti segalanya bagi dirinya. Dia mempertaruhkan segalanya untukku, dan setidaknya inilah yang bisa aku lakukan. Bagiku, ini bahkan bukan tentang pedang itu. Aku hanya tidak ingin melihatnya pergi.

Jadi aku akan melakukan apa pun yang aku bisa. Lagi pula, aku selalu ingin mencoba menemukan ayahku. Aku ingin tahu siapa dia sesungguhnya. Siapa sesungguhnya aku ini. Apakah aku benar-benar setengah vampir, atau setengah manusia, atau apa pun itu. Aku membutuhkan jawaban. Jika tidak ada hal lain, aku ingin tahu aku akan menjadi seperti apa...

*

“Caitlin?”

Ia bangun dengan terkejut. Ia mendongak untuk melihat Caleb berdiri di sampingnya, tangannya diletakkan dengan lembut di bahu Caitlin. Dia tersenyum.

"Aku rasa kau tertidur," ujarnya.

Ia memandang ke sekeliling, melihat buku hariannya terbuka di pangkuannya dan menutupnya dengan segera. Ia merasa pipinya merona, berharap dia tidak membacanya sama sekali. Khususnya, bagian tentang perasaan Caitlin kepadanya.

Ia duduk tegak dan mengusap matanya. Saat itu masih malam hari, dan api masih menyala, meskipun apinya semakin mengecil. Dia pasti baru saja terbangun. Ia bertanya-tanya berapa lama ia tertidur.

"Maaf," kata Caitlin. "Itu adalah pertama kalinya aku tidur selama beberapa hari ini."

Dia tersenyum lagi, dan melintasi ruangan menuju ke perapian. Dia melemparkan beberapa kayu lagi, dan kayu itu berkeretak dan mendesis, sebagaimana api menjadi lebih besar. Ia merasakan kehangatan mencapai kakinya.

Dia duduk di sana, memandangi api, dan senyumnya perlahan-lahan menghilang saat dia nampak tenggelam dalam pikirannya. Ketika dia memandangi api, wajahnya diterangi cahaya dengan kilau yang hangat, membuatnya terlihat semakin menarik, jika itu adalah hal memungkinkan. Matanya yang besar dan berwarna coklat terbuka lebar, dan saat Caitlin memandanginya, warnanya berubah menjadi hijau muda.

Caitlin duduk semakin tegak, dan melihat gelas anggur merahnya masih penuh. Ia meneguknya, dan anggur itu menghangatkan dirinya. Ia belum makan selama beberapa waktu, dan anggur itu langsung memengaruhi kepalanya. Ia melihat gelas plastik lain ada di sana, dan ia ingat sopan-santunnya.

"Bolehkan aku menuangkan untukmu?" tanyanya, dengan gugup, "itu, maksudku, aku tidak tahu apakah kau minum—"

Dia tertawa.

"Ya, vampir minum anggur juga," ujarnya dengan sebuah senyum, dan mendekat serta memegang gelas saat ia menuangkan anggur itu.

Ia terkejut. Bukan karena kata-katanya, tapi oleh tawanya. Tawanya lembut, elegan, dan sepertinya menghilang dengan perlahan dalam ruangan itu. Seperti segala sesuatu tentang dirinya, tawanya juga misterius.

Ia memandangi matanya ketika dia mengangkat gelas ke bibirnya, berharap bahwa dia akan balas menatapnya.

Dia melakukannya.

Lalu mereka berdua memalingkan muka pada saat yang sama. Ia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.

Caleb kembali berjalan ke tempatnya, duduk di atas jerami, bersandar, dan menatap Caitlin. Sekarang kelihatannya dia sedang mengamatinya. Ia merasa canggung.

Ia secara tidak sadar meraba-raba pakaiannya, dan berharap ia mengenakan pakaian yang lebih bagus. Benaknya berpacu saat ia mencoba mengingat apa yang ia kenakan. Di suatu tempat sepanjang perjalanan, ia tidak bisa ingat di mana, mereka berhenti sebentar di sebuah kota, dan ia pergi ke satu-satunya toko yang ada—Salvation Army—dan menemukan baju ganti.

Ia menunduk dengan cemas, dan bahkan tidak mengenali dirinya sendiri. Ia mengenakan jins pudar dan koyak, sepatu kets yang satu ukuran terlalu besar untuknya, dan sebuah sweater di atas kaus oblong. Di atas kaus oblong itu, ia mengenakan jaket pudar berwarna ungu kacang, satu kancing hilang, yang juga terlalu besar untuknya. Tapi pakaian itu hangat. Dan sekarang, itulah yang ia butuhkan.

Ia merasa canggung. Mengapa dia melihatnya seperti ini? Itu hanyalah keberuntungannya bahwa pertama kalinya ia menemukan seorang pria yang benar-benar ia sukai, ia bahkan tidak punya kesempatan untuk membuat dirinya terlihat cantik. Tidak ada kamar mandi dalam lumbung ini, dan bahkan jika ada, ia tidak membawa riasan. Ia memalingkan muka lagi, merasa malu.

"Apakah aku tidur dalam waktu yang lama?" tanyanya.

"Aku tidak yakin. Aku sendiri baru saja bangun." ujarnya, bersandar dan membelai tangan melalui rambutnya. "Aku bersantap lebih awal malam ini. Itu membuatku lelah."

Ia memandanginya.

"Jelaskan kepadaku," ujarnya.

Dia menatapnya.

"Minum darah," tambahnya. "Seperti, bagaimana cara kerjanya? Apakah kau...membunuh orang?"

"Tidak, tidak pernah," ujar Caleb.

Ruangan itu menjadi sunyi saat ia berusaha memikirkan sesuatu.

"Seperti semua hal dalam ras vampir, minum darah adalah hal yang rumit," ujarnya. "Itu tergantung pada jenis vampir apa, dan coven mana kau berasal. Jika aku, aku hanya meminum darah hewan. Biasanya, rusa. Toh, rusa kelebihan populasi, dan manusia juga memburunya—dan bahkan tidak untuk dimakan."

Ekspresinya berubah gelap.

"Tapi coven lain tidak sebegitu ramah. Mereka akan menyantap manusia. Biasanya, orang-orang yang tidak diinginkan."

"Orang-orang yang tidak diinginkan?"

"Tuna wisma, gelandangan, pelacur...mereka yang tidak akan diperhatikan. Itulah yang selama ini terjadi. Mereka tidak ingin menarik perhatian terhadap ras mereka.

"Itulah mengapa kami menganggap covenku, jenis vampirku, berdarah murni, dan jenis lain tidak murni. Apa yang kau santap...energinya merasukimu."

Caitlin duduk di sana, berpikir.

"Bagaimana denganku?" Tanyanya.

Dia menatapnya.

"Mengapa aku kadang-kadang ingin meminum darah, tapi tidak yang lainnya?"

 

Dia mengernyitkan alisnya.

"Aku tidak yakin. Kau berbeda. Kau setengah keturunan. Itu adalah suatu hal yang sangat langka...aku tidak tahu karena kau muncul sesuai usia. Sedangkan yang lain, mereka berubah, dalam semalam. Untukmu, ini adalah sebuah proses. Mungkin memerlukan waktu bagimu untuk berubah, untuk menjalani perubahan apa pun yang kau alami."

Caitlin kembali berpkir dan mengingat sengatan laparnya, bagaimana rasa itu melandanya secara tiba-tiba. Bagaimana rasa itu membuatnya tidak dapat berpikir apa pun selain menyantap. Mengerikan sekali. Ia takut hal itu terjadi lagi.

"Tapi bagaimana aku tahu kapan itu akan terjadi lagi?"

Dia menatapnya. "Kau tidak perlu tahu."

"Tapi aku tidak pernah menginginkan untuk membunuh manusia," ujarnya. "Sama sekali."

"Kau tidak perlu khawatir. Kau bisa minum darah hewan."

"Tapi bagaimanakah jika hal itu terjadi ketika aku terjebah di suatu tempat?"

"Kau harus belajar untuk mengendalikannya. Itu memerlukan latihan. Dan tekad. Itu tidak mudah. Tapi memungkinkan. Kau bisa mengendalikannya. Itu adalah apa yang dijalani setiap vampir."

Caitlin membayangkan tentang seperti apa rasanya terperangkap dan menyantap hewan hidup. Ia tahu ia sudah lebih cepat daripada sebelumnya, tapi ia tidak tahu apakah ia secepat itu. Dan ia tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan jika ia benar-benar menangkap seekor rusa.

Ia menatapnya.

"Maukah kau mengajariku?" tanyanya, penuh harap.

Dia bertatapan mata dengannya, dan ia bisa merasakan jantungnya berdegup.

"Minum darah adalah suatu hal yang suci dalam ras kami. Itu selalu dilakukan sendirian," ujarnya, lembut dan dengan nada meminta maaf. ":Kecuali..." Dia terdiam.

"Kecuali?" tanyanya.

"Dalam upacara pernikahan. Untuk mengikat suami dan istri.

Dia memalingkan muka, dan ia bisa melihatnya bergerak. Ia merasakan darah mengalir ke pipinya, dan tiba-tiba ruangan itu menjadi sangat hangat.

Ia memutuskan untuk melupakannya. Ia tidak mengalami sengatan rasa lapar sekarang, dan ia bisa menyeberangi jalan itu saat ia mengalaminya. Ia berharap dia akan ada di sisinya pada saat itu.

Selain itu, jauh di lubuk hatinya, ia tidak sungguh-sungguh peduli tentang meminum darah, atau vampir, atau pedang, atau apa pun itu. Yang sangat ingin ia ketahui adalah tentang dia. Atau, sesungguhnya, bagaimana perasaan Caleb terhadapnya. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan kepadanya. Mengapa kau mempertaruhkan itu semua untukku? Apakah hanya untuk menemukan pedang itu? Atau apakah ada hal lain? Setelah kau menemukan pedangmu, akankah kau masih ada di sampingku? Meskipun cinta dengan seorang manusia itu terlarang, akankah kau menyeberangi batas itu untukku?

Namun ia takut.

Jadi, sebaliknya, ia hanya berkata: "Aku harap kita menemukan pedangmu."

Pengecut, pikirnya. Itukah hal terbaik yang bisa kau lakukan? Tidak bisakah kau mendapatkan keberanian untuk mengatakan apa yang sedang kau pikirkan?

Tapi energinya terlalu besar, dan kapan pun ia ada di dekatnya, energi itu membuatnya sulit untuk berpikir jernih.

"Aku akan melakukannya," jawabnya. "Itu bukan senjata biasa. Pedang itu telah diincar oleh kaum kami selama berabad-abad. Kabarnya pedang itu menjadi contoh pedang Turki terbaik yang pernah dibuat, dibuat dari sebuah logam yang bisa membunuh semua vampir. Dengan pedang itu, kami akan menjadi tidak terkalahkan. Tanpa pedang itu..."

Dia terdiam, tiba-tiba takut menyuarakan akibatnya.

Caitlin berharap Sam ada di sana, berharap dia bisa membantu membimbing mereka kepada ayahnya. Ia mengamati lumbung itu lagi. Ia tidak melihat ada tanda-tanda baru dari Sam. Ia berharap, sekali lagi ia tidak menghilangkan ponselnya dalam perjalanan. Ponsel itu akan membuat hidupnya lebih mudah.

"Sam biasanya selalu pergi ke sini," kata Caitlin. "Aku yakin dia akan datang ke sini. Tapi aku tahu dia kembali kembali ke kota ini—aku yakin sekali. Dia tidak akan pergi ke tempat lain. Besok kita akan pergi ke sekolah, dan aku akan bicara dengan teman-temanku. Aku akan mencari tahu."

Caleb mengangguk. "Kau yakin dia tahu di mana ayahmu berada?" tanyanya.

"Aku...tidak tahu," jawabnya. "Tapi aku tahu bahwa dia mengetahui lebih banyak tentang ayah dibandingkan aku. Dia telah mencoba menemukan ayah dari dulu. Jika ada yang mengetahui apa pun tentang ayah, itu adalah Sam."

Caitlin kembali berpikir dan mengingat saat-saat yang telah ia lalui dengan Sam, dia selalu mencari, menunjukkan petunjuk-petunjuk baru kepadanya, yang selalu mengecewakan. Semua malam dia pergi ke kamarnya dan duduk di pinggir ranjangnya. Keinginannya untuk bertemu ayah mereka sangat luar biasa, seperti sebuah benda hidup di dalam dirinya. Ia juga merasakannya, tapi tidak sebesar Sam. Dalam beberapa hal, kekecewaannya semakin sulit untuk dilihat.

Caitlin memikirkan masa kanak-kanak mereka yang berantakan, dari semua yang telah mereka lewatkan, dan tiba-tiba merasa dilanda emosi. Air mata terbentuk di sudut matanya, dan, merasa malu, ia segera menyekanya, berharap Caleb tidak melihat.

Tapi dia sudah melihatnya. Dia mendongak dan menatapnya, ingin tahu.

Dia berdiri perlahan-lahan dan duduk di sebelahnya. Dia begitu dekat, ia bisa merasakan energinya. Sangat kuat. Jantungnya mulai berdegup.

Dia membelai rambutnya dengan lembut, membalikkan wajah Caitlin. Lalu jarinya membelai sudut matanya, dan kemudian turun ke pipinya.

Ia tetap menundukkan wajahnya, menatap lantai, takut untuk menatap matanya. Ia bisa merasakan mata Caleb mengamatinya.

"Jangan khawatir," katanya, suaranya yang dalam dan lembut membuatnya sangat tenang. "Kita akan menemukan ayahmu. Kita akan melakukannya bersama-sama."

Tapi itu bukanlah apa yang ia khawatirkan. Ia khawatir terhadap dirinya. Caleb. Khawatir saat Caleb akan meninggalkan dirinya.

Jika ia bertatap muka dengannya, ia bertanya-tanya apakah dia akan menciumnya dirinya. Ia sangat ingin merasakan sentuhan bibirnya.

Tapi dia takut untuk memalingkan kepalanya.

Saat itu terasa seperti berjam-jam lamanya sampai ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendongak.

Tapi dia telah berpaling. Dia bersandar dengan perlahan di atas rumput kering, matanya terpejam, tertidur, ada sebuah senyum lembut di wajahnya, diterangi oleh cahaya perapian.

Ia merosot lebih dekat dengannya dan berbaring, meletakkan kepalanya beberapa inchi dari bahunya. Mereka hampir bersentuhan.

Dan hampir cukup baginya.