Takdir Naga

Text
Aus der Reihe: Cincin Bertuah #3
0
Kritiken
Leseprobe
Als gelesen kennzeichnen
Wie Sie das Buch nach dem Kauf lesen
Schriftart:Kleiner AaGrößer Aa

BAB EMPAT

Thor mencoba untuk bernapas saat ia mengedipkan kembali air yang menyelubungi matanya, hidungnya, mulutnya, tumpah ruah ke sekujur tubuhnya. Setelah tergelincir melintasi perahu, ia akhirnya berhasil mencengkram susuran kayu, dan ia bergelayut pada kayu itu dengan erat saat air tanpa henti menyiram genggamannya. Setiap otot tubuhnya bergetar, dan ia tidak tahu berapa lama lagi ia dapat bertahan.

Semua saudara-saudaranya di sekelilingnya melakukan hal yang sama, bergelayut erat pada apapun yang mereka bisa temukan saat air mencoba untuk menyeret mereka keluar dari perahu. Entah bagaimana, mereka bisa bertahan.

Suara itu memekakkan telinga, dan sulit untuk melihat lebih dari beberapa kaki di depannya. Meskipun musim panas, hujan itu terasa dingin, dan air itu mengirimkan hawa dingin ke seluruh tubuhnya yang tidak bisa ia goyangkan. Kolk berdiri di sana, merengut, berkacak pingang seolah-olah ia kebal dengan dinding hujan, dan membentak semua yang ada di sekelilingnya.

"KEMBALI KE TEMPAT DUDUKMU!" teriaknya. "DAYUNG!"

Kolk sendiri duduk dan mulai mendayung, dan dalam beberapa saat para remaja laki-laki itu tergelincir dan merangkak melintasi dek, mengarah kembali ke tempat duduk. Jantung Thor berdegup ketika ia melepaskan diri, dan berusaha menyeberangi dek. Krohn, di dalam bajunya, mendengking, saat Thor terpeleset kemudian jatuh, mendarat dengan keras di dek.

Ia merangkak di sisa jalannya, dan segera menemukan dirinya kembali di tempat duduknya.

"IKAT DIRIMU!" teriak Kolk.

Thor menunduk dan melihat tali simpul di bawah bangkunya, dan akhirnya menyadari untuk apa tali itu: ia mengulurkan tangan dan menalikan salah satunya di sekitar pergelangan tangannya, mengikatkan diri ke bangku dan dayung.

Berhasil. Ia berhenti terpeleset. Dan segera, ia dapat mendayung.

Di sekelilingnya para pemuda kembali mendayung, Reece mengambil kursi di depannya, dan Thor bisa merasakan perahu bergerak. Dalam beberapa menit, dinding hujan lebih ringan di depan sana.

Saat ia mendayung dan terus mendayung, kulitnya terbakar akibat hujan aneh ini, setiap otot dalam tubuhnya nyeri, akhirnya suara hujan mulai mereda, dan Thor mulai merasakan lebih sedikit air yang mengguyur kepalanya. Dalam beberapa saat kemudian, mereka memasuki langit yang cerah.

Thor memandang ke sekeliling, terkejut: tempat itu benar-benar kering dan cerah. Itu adalah hal teraneh yang pernah ia alami: setengah perahu berada di bawah matahari yang bersinar dan kering, sementara setengah yang lain terguyur pada saat mereka selesai melewati dinding hujan.

Akhirnya, seluruh perahu berada di bawah langit cerah biru dan kuning, mentari hangat yang terik di atas mereka. Saat itu sunyi, dinding hujan hilang dengan cepat, dan semua saudara seperjuangannya melihat satu sama lain, terpana. Seolah-olah mereka telah melewati sebuah tirai, ke alam lain.

"TERUSKAN!" teriak Kolk.

Semua pemuda di sekeliling Thor mengayuh dayung mereka dengan rintihan dan napas mereka yang terengah-engah. Thor melakukan hal yang sama, merasakan setiap otot dalam tubuhnya gemetar dan bersyukur dapat beristirahat. Ia menelungkup, terengah-engah dan mencoba untuk mengendurkan otot yang sakit saat perahu mereka meluncur menuju perairan yang baru.

Thor akhirnya menguasai dirinya kembali lalu berdiri dan melihat sekeliling. Ia menunduk menatap air, dan melihat bahwa air itu telah berubah warna: air itu sekarang bercahaya, bersinar kemerahan. Mereka telah memasuki lautan yang berbeda.

"Lautan Para Naga," kata Reece, di sampingnya, juga memandang ke bawah dengan heran. "Mereka mengatakan air itu berwarna merah karena darah dari para korbannya."

Thor menunduk menatap air itu. Lautan itu bergelembung di beberapa tempat, dan di kejauhan, monster aneh muncul dari air untuk sesaat, kemudian tenggelam. Tidak ada bertahan cukup lama untuk dapat melihat monster itu dengan baik, tapi ia tidak ingin mencoba peruntungannya dan menunduk lebih dekat.

Thor berpaling dan melihat semuanya, ia bingung. Semua yang ada di sini, di sisi dinding hujan itu, nampak sangat asing, begitu berbeda. Bahkan ada kabut merah tipis di udara, melayang rendah di atas air. Ia mencari-cari di cakrawala dan menemukan lusinan pulau kecil yang tersebar, seperti anak tangga batu di cakrawala.

Angin kencang melanda dan Kolk melangkah maju lalu membentak:

"NAIKKAN LAYAR!"

Thor segera melakukannya bersama semua pemuda di sekelilingnya, meraih tali, dan mengibarkannya agar terbawa embusan angin Layar terbentang dan embusan angin membawa mereka. Thor merasakan perahu bergerak di bawah mereka lebih cepat dari yang pernah ia rasakan, dan mereka mengarah menuju pulau. Perahu terperangkap di gelombang raksasa yang bergulung, yang muncul entah dari mana, bergerak lembut naik dan turun.

Thor berhasil berjalan menuju haluan, bersandar pagar dan melihat ke kejauhan. Reece muncul di sebelahnya, dan O'Connor berada di sisinya yang lain. Mereka semua berdiri berdampingan, dan Thor menyaksikan rantai kepulauan mendekat dengan cepat. Mereka berdiri dalam keheningan dalam waktu yang lama, Thor merasakan angin lembab yang membuat tubuhnya menjadi santai.

Akhirnya, Thor menyadari mereka menuju ke satu pulau. Pulau itu semakin besar, dan Thor merasakan hawa dingin ketika ia menyadari bahwa itu adalah tujuan mereka.

"Pulau Kabut," kata Reece, takjub.

Thor mengamatinya dengan heran. Bentuknya mulai terlihat jelas - pulau itu berbatu, terjal, tandus, dan terbentang beberapa mil di setiap arah, panjang dan sempit, berbentuk seperti tapal kuda. Gelombang raksasa menabrak pantainya, suaranya bergemuruh bahkan dari sini, menciptakan percikan besar busa saat gelombang itu menabrak batu-batu besar. Ada secarik dataran kecil di luar batu besar, dan kemudian dinding tebing yang melambung tinggi lurus ke atas, tinggi ke udara. Thor tidak melihat bagaimana perahu mereka bisa mendarat dengan aman.

Menambah keanehan tempat ini, kabut merah tertinggal di seluruh pulau, seperti embun, berkilau di bawah sinar matahari. Ini memberikan nuansa yang tidak menyenangkan. Thor bisa merasakan sesuatu yang bukan manusia dan tidak wajar tentang tempat ini.

"Mereka mengatakan pulau itu bertahan jutaan tahun," tambah O'Connor. "Pulau itu lebih tua dibandingkan Cincin. Lebih tua, bahkan, dibandingkan Kekaisaran."

"Pulau itu milik para naga," tambah Elden, muncul di samping Reece.

Saat Thor memandang, tiba-tiba matahari kedua turun di langit; di saat-saat hari berubah dari cerah dan cerah hampir terbenam, langit ternoda dengan warna merah dan ungu. Ia tidak bisa mempercayainya: ia belum pernah melihat matahari yang bergerak secepat itu sebelumnya. Ia bertanya-tanya apa lagi yang berbeda di belahan dunia ini.

"Apakah seekor naga hidup di pulau ini?" tanya Thor.

Elden menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Aku dengar naga itu hidup di sekitarnya. Mereka berkata bahwa kabut merah berasal dari napas naga. Naga itu bernapas pada malam hari di pulau tetangga, dan angin membawa napas itu serta menyelubungi pulau itu di siang hari.

Thor tiba-tiba mendengar suara; awalnya suara itu terdengar seperti gemuruh pelan, seperti petir, panjang lalu cukup keras untuk mengguncang perahu. Krohn, masih berada dalam bajunya, menundukkan kepalanya dan mendengking

Semua orang berbalik dan Thor ikut berbalik juga dan melihat; di suatu tempat di cakrawala ia pikir ia bisa melihat garis samar api menjilati matahari terbenam, kemudian menghilang dalam asap hitam, seperti gunung berapi kecil meletus.

"Sang Naga," kata Reece. "Kita ada dalam wilayah mereka sekarang."

Thor menelan ludah, bertanya-tanya.

"Tapi bagaimana kita bisa selamat dari sini?" tanya O'Connor.

"Kau tidak aman di mana pun," muncul sebuah gema suara.

Thor berbalik untuk melihat Kolk berdiri di sana, berkacak pinggang, mengamati cakrawala melewati bahu mereka.

"Itu adalah titik dari Misi Seratus Hari, untuk hidup dengan risiko kematian setiap harinya. Ini bukanlah sebuah latihan. Naga hidup di dekat kita, dan tidak ada satu pun yang bisa menghentikannya untuk menyerang. Naga itu mungkin tidak akan menyerang, karena dia menjaga sendiri hartanya di pulaunya, dan naga tidak suka meninggalkan hartanya tidak terlindungi. Tapi kau akan mendengar raungannya, dan melihat apinya di malam hari. Dan jika kita membuatnya marah entah bagaimana caranya, tidak ada yang bisa mengira apa yang bisa terjadi."

Thor mendengar gemuruh pelan lain, melihat semburan api lain di cakrawala, dan memandanginya saat mereka semakin mendekati pulau itu, gelombang menabrak pulau itu. Ia mendongak melihat tebing curam, sebuah dinding batu, dan bertanya-tanya bagaimana dinding itu bisa mencapai setinggi itu, menuju ke datarannya yang datar dan kering.

"Tapi aku tidak melihat tempat bagi sebuah perahu untuk berlabuh," kata Thor.

"Berlabuh akan menjadi suatu hal yang sangat mudah," jawab Kolk dengan ketus.

"Lalu bagaimana kita bisa menuju pulau itu?" tanya O'Connor.

Kolk membalas dengan senyum, sebuah senyum sinis.

"Kalian berenang," katanya.

Untuk beberapa saat, Thor bertanya-tanya apakah dia bergurau; tapi kemudian ia menyadari dari tatapan Kolk bahwa dia tidak bergurau. Thor menelan ludah.

"Berenang?" ulang Reece, tidak percaya.

"Air itu dipenuhi dengan monster!" kata Elden.

"Oh, itu hanya sebagian kecil saja," lanjut Kolk. Gelombangnya berbahaya; pusaran airnya akan menyedotmu ke bawah; gelombang itu akan menabrakkan kalian ke bebatuan bergerigi; airnya panas; dan jika kalian berhasil melewati bebatuan, kalian harus menemukan cara untuk memanjat tebing tersebut, untuk mencapai daratan kering. Itu jika monster laut tidak mendapatkan kalian lebih dulu. Selamat datang ke rumah baru kalian."

 

Thor berdiri di sana bersama yang lainnya, di tepi pagar, menunduk melihat lautan berbuih di bawahnya. Air berputar-putar di bawahnya seperti benda hidup, gelombang itu semakin kuat dalam beberapa detik, mengguncang perahu, membuatnya lebih sulit untuk mempertahankan keseimbangannya. Jauh di bawah, air berkecamuk, berputar, merah terang yang tampaknya berisi darah dari neraka itu sendiri. Yang paling buruk dari semua itu, ketika Thor memandang lebih dekat, air itu terganggu setiap beberapa kaki dengan kemunculan monster laut yang lain, naik, menggertakkan gigi panjangnya, kemudian menyelam.

Perahu mereka tiba-tiba menjatuhkan sauh, jauh dari pantai, dan Thor menelan ludah. Ia mendongak pada bebatuan besar yang membentuk pulau, dan bertanya-tanya bagaimana mereka dapat berhasil sampai di sana dari tempat ini. Tubrukan gelombang semakin besar dalam beberapa detik, membuat yang lain harus berteriak agar suaranya terdengar.

Ia melihat beberapa perahu dayung kecil diturunkan di air, lalu dipandu oleh komandan menjauh dari kapal, sekitar tiga puluh yard. Mereka tidak akan membiarkan hal itu menjadi mudah: mereka harus berenang untuk mencapai mereka.

Gagasan itu membuat perut Thor bergolak.

"LOMPAT!" teriak Kolk.

Untuk pertama kalinya, Thor merasa takut. Ia bertanya-tanya apakah itu akan membuat dia tidak menjadi anggota Legiun, bukan lagi seorang prajurit. Ia tahu prajurit tidak boleh takut sepanjang waktu, tapi ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa sekarang ia merasa takut. Ia membenci kenyataan bahwa ia takut, dan ia berharap sebaliknya. Tapi ia memang takut.

Namun saat Thor memandang ke sekeliling dan melihat wajah-wajah ketakutan dari para pemuda lain, ia merasa lebih baik. Semua pemuda di sekelilingnya berdiri di dekat pagar, membeku dalam ketakutan, menatap ke bawah air. Salah satu pemuda sangat takut sampai dia gemetar. Itu adalah pemuda dari hari latihan perisai, seseorang yang ketakutan, yang telah dipaksa untuk berlari mengelilingi lapangan.

Kolk pasti sudah merasakannya, karena ia melintasi perahu menuju ke arahnya. Kolk nampak tidak terpengaruh saat angin meniup rambutnya, menyeringai sambil berjalan, terlihat siap untuk menaklukkan alam itu sendiri. Dia berdiri di sampingnya dan pandangan marahnya semakin dalam.

"LOMPAT!" teriak Kolk.

"Tidak!" jawab remaja itu. "Saya tidak bisa! Saya tidak mau! Saya tidak bisa berenang! Pulangkan saya!"

Kolk berjalan tepat ke arah pemuda itu, saat ia mulai menjauhi pagar, menyambar bagian belakang bajuya, dan menyeretnya tinggi-tinggi.

"Maka kau harus belajar berenang!" Kolk menggeram, dan kemudian, yang membuat Thor tidak percaya, dia melemparkan pemuda itu melewati pagar.

Pemuda itu melayang melewati udara, berteriak, saat ia jatuh sekitar lima belas kaki ke arah laut yang berbuih. Dia mendarat dengan sebuah percikan, lalu mengapung ke permukaan, menggapai-gapai, terengah-engah.

"TOLONG!" teriaknya.

"Apakah hukum pertama dari Legiun?" Kolk berteriak, berpaling kepada pemuda lain di perahu, mengabaikan pemuda di air itu.

Thor sayup-sayup menyadari jawaban yang benar dari pertanyaan itu, tapi ia terlalu teralihkan oleh pemadangan pemuda itu, tenggelam ke bawah, untuk menjawabnya.

"Untuk membantu rekan anggota Legiun yang membutuhkan!" teriak Elden.

"Dan apakah dia membutuhkan bantuan?" teriak Kolk, menunjuk ke arah pemuda itu.

Pemuda itu mengangkat tangannya, terombang-ambing masuk dan keluar dari air, dan pemuda lainnya berdiri di dek, menatap, terlalu takut untuk menyelam.

Pada saat itu, sesuatu yang aneh terjadi pada Thor. Ketika ia berfokus pada remaja yang tenggelam itu, semua hal lain memudar. Thor tidak lagi memikirkan dirinya sendiri. Kenyataan bahwa ia mungkin mati bahkan tidak pernah memasuki benaknya. Lautan, para monster, gelombang...itu semua berangsur hilang. Yang bisa ia pikirkan adalah menyelamatkan orang lain.

Thor melangkah menuju ke pagar oak yang lebar, menekuk lututnya, dan tanpa berpikir, melompat tinggi ke udara, mengarahkan wajah lebih dulu menuju air merah yang bergelembung di bawahnya.

BAB LIMA

Gareth duduk di singgasana ayahnya di Aula Utama, membelai pegangan tangan singgasana kayu yang halus dan melihat pemandangan di depannya: ribuan anak buahnya berkemas-kemas di salam ruangan, orang-orang berkerumun di semua sudut Cincin untuk menyaksikan peristiwa sekali dalam hidup ini, untuk melihat apakah ia bisa mencabut Pedang Dinasti. Untuk melihat apakah ia merupakan Yang Terpilih. Terakhir semenjak ayahnya masih muda, orang-orang memiliki kesempatan untuk menyaksikan pencabutan - dan nampaknya tidak seorang pun ingin melewatkannya. Kegembiraan bergantung di udara seperti awan.

Gareth sendiri merasa kebas akibat antisipasi. Tatkala ia menyaksikan ruangan itu terus membengkak, lebih banyak orang lagi memenuhi di dalamnya, ia mulai bertanya-tanya apakah penasihat ayahnya telah berkata benar, apakah memang merupakan gagasan yang buruk untuk mengadakan pencabutan di Aula Utama dan membukanya untuk umum. Mereka telah mendesak Gareth untuk menyelenggarakannya di dalam Ruang Pedang pribadi yang kecil; mereka beralasan bahwa jika ia gagal, hanya beberapa orang yang akan menyaksikannya. Tetapi Gareth tidak memercayai orang-orang ayahnya; ia merasa lebih percaya diri dengan takdirnya ketimbang pengawal tua ayahnya, dan ia menginginkan seluruh kerajaan menyaksikan keberhasilannya, untuk menyaksikan bahwa ia adalah Yang Terpilih, saat peristiwa itu terjadi. Ia menginginkan peristiwa itu dicatat dalam sejarah. Peristiwa saat takdirnya datang.

Gareth memasuki ruangan itu dengan kejelian, melangkah melintasinya ditemani oleh para penasihatnya, dengan mengenakan mahkota dan jubahnya dan memegang tongkatnya - ia ingin mereka semua tahu bahwa ia, bukan ayahnya, adalah Raja yang sesungguhnya, MacGil yang sesungguhnya. Seperti yang telah ia harapkan, tidak perlu waktu yang lama bagi dirinya untuk merasakan bahwa ini adalah kastilnya, kekuasaannya. Ia menginginkan orang-orangnya merasakan hal itu sekarang, pameran kekuasaan ini harus disaksikan secara luas. Setelah hari ini, mereka akan mengetahui dengan pasti bahwa ia adalah satu-satunya raja yang sesungguhnya.

Tetapi sekarang saat Gareth duduk di sana, sendirian di singgasana itu, memandangi tonggak-tonggak besi kosong di tengah ruangan di mana pedang itu akan diletakkan, diterangi oleh seberkas sinar matahari yang mengalir turun melalui langit-langit, ia tidak begitu yakin. Betapa pentingnya hal yang ia akan lakukan itu membebaninya; hal itu akan menjadi langkah yang tidak dapat diubah, dan tidak ada jalan kembali. Bagaimana seandainya ia memang gagal? Ia mencoba untuk menyingkirkannya dari benaknya.

Pintu besar terbuka dengan derik jauh di sisi lain ruangan, dan ruangan itu menjadi sunyi, menunggu hasilnya. Berbaris masuk selusin kaki tangan terkuat kerajaan, dengan membawa pedang itu di antara mereka, semua berupaya menahan beratnya. Enam pria berdiri di tiap sisi, berbaris dengan perlahan, dengan satu per satu langkah, membawa pedang menuju tempat peletakannya.

Jantung Gareth berdegup semakin cepat ketika ia menyaksikan pedang itu semakin dekat. Untuk sesaat, rasa percaya dirinya goyah - apakah dua belas orang ini, yang lebih besar daripada yang pernah dilihatnya, nyaris tidak bisa menahannya, kesempatan apa yang ada di sana untuk dirinya? Tetapi ia mencoba untuk mengeluarkan pikiran itu dari benaknya - bagaimana pun juga, pedang itu merupakan takdir, bukan kekuatan. Dan ia memaksa dirinya untuk mengingat bahwa merupakan takdirnya untuk berada di sini, untuk menjadi anak sulung MacGil, untuk menjadi Raja. Ia mencari-cari Argon di kerumunan; atas sejumlah alasan Gareth memiliki keinginan kuat yang tiba-tiba untuk meminta nasihatnya. Itu adalah waktu di mana ia sangat membutuhkan Argon. Atas alasan tertentu, ia tidak bisa memikirkan orang lain. Tapi tentu saja, dia tidak tampak di mana pun.

Akhirnya, selusin pria itu mencapai bagian tengah ruangan, membawa pedang menuju berkas cahaya matahari, dan mereka meletakkannya pada tonggak-tonggak besi. Pedang itu mendarat dengan suara dentang yang bergema, suara itu merayap bagaikan riak ke seluruh ruangan. Ruangan itu menjadi sangat sunyi.

Kerumunan itu secara naluriah terbagi, membuat jalan bagi Gareth untuk berjalan dan mencoba mencabutnya.

Gareth perlahan bangkit dari singgasananya, menikmati momen itu, menikmati semua sorotan ini. Ia bisa merasakan semua mata memandanginya. Ia tahu bahwa momen seperti ini tidak akan pernah datang lagi, ketika seluruh kerajaan menyaksikan dirinya begitu menyeluruh, begitu bersemangat, menelaah setiap gerakan yang ia lakukan. Ia telah membayangkan momen ini begitu sering dalam benaknya sejak masa mudanya, dan sekarang momen itu telah datang. Ia ingin momen itu berlangsung dengan perlahan.

Ia berjalan menuruni anak tangga singgasana, melangkah satu demi satu anak tangga, menikmati setiap langkah. Ia berjalan di atas karpet merah, merasakan bagaimana lembutnya karpet itu di bawah kakinya, lebih dekat dan semakin dekat menuju berkas cahaya matahari itu, menuju ke arah pedang. Saat ia berjalan, itu terasa seperti berjalan dalam sebuah mimpi. Ia merasa berada di awang-awang. Sebagian dari dirinya merasa seolah-olah ia berjalan di atas karpet ini beberapa kali sebelumnya, mencabut pedang itu jutaan kali dalam mimpinya. Itu membuat ia semakin merasa bahwa ia ditakdirkan untuk mencabut pedang itu, bahwa ia sedang berjalan menuju takdirnya.

Ia melihat bagaimana peristiwa itu berlangsung dalam benaknya: ia akan melangkah maju dengan gagah berani, mengulurkan satu tangan, dan ketika para bawahannya membungkuk, ia akan dengan tiba-tiba dan secara dramatis mengangkatnya tinggi di atas kepalanya. Mereka semua akan terkesiap dan bersujud serta menyatakan dirinya sebagai Yang Terpilih, raja MacGil paling penting yang pernah berkuasa, satu-satunya yang ditakdirkan untuk berkuasa selamanya. Mereka akan mencucurkan air mata sukacita saat melihatnya. Mereka akan gemetar ketakutan terhadap dirinya. Mereka akan berterima kasih pada Tuhan karena mereka telah hidup dalam kehidupan ini untuk menyaksikannya. Mereka akan memuja dirinya seperti seorang dewa.

Gareth mendekati pedang itu, hanya beberapa kaki jauhnya sekarang, dan merasakan dirinya menggigil. Ketika ia memasuki cahaya matahari itu, meskipun ia seringkali melihat pedang itu sebelumnya, ia tercengang oleh keindahannya. Ia tidak pernah diizinkan sedekat ini sebelumnya, dan itu membuatnya terkejut. Pedang itu sangat hebat. Dengan mata pisau panjang yang berkilau, dibuat dari suatu bahan yang belum pernah ditemukan siapa pun, pedang itu memiliki ornamen gagang terindah yang pernah ia lihat, diselubungi dengan kain indah laksana sutra, bertatahkan permata di setiap bagian, dan dihiasi dengan lambang elang. Ketika mengambil sebuah langkah lebih dekat, ia merasakan energi dahsyat terpancar keluar, melayang-layang di udara dari pedang itu. Pedang itu nampak berdenyut. Ia sangat sulit untuk bernapas. Dalam beberapa saat pedang itu akan berada dalam telapak tangannya. Tinggi di atas kepalanya. Bercahaya dalam sinar matahari untuk dilihat oleh seluruh dunia.

Dirinya, Gareth, Yang Terhebat.

Gareth mengulurkan tangan dan meletakkan tangan kanannya pada gagang pedang, perlahan-lahan melingkarkan jari-jarinya di sekelilingnya, merasakan setiap permata, setiap kontur pedang itu saat ia menggenggamnya, ia tersentak. Suatu energi yang kuat memancar melalui telapak tangannya, menuju lengannya, ke seluruh tubuhnya. Itu tidak seperti apa pun yang pernah ia rasakan. Momen ini adalah miliknya. Momen miliknya untuk selamanya.

Gareth tidak akan melewatkan kesempatan: ia mengulurkan tangan lainnya dan juga menggenggam gagang pedang itu. Ia menutup matanya, napasnya tidak keruan.

Jika diperkenankan oleh para dewa, izinkan aku untuk mencabut pedang ini. Beri aku pertanda. Tunjukkan padaku bahwa aku adalah Raja. Tunjukkan padaku bahwa aku ditakdirkan untuk berkuasa.

Gareth berdoa dalam kesunyian, menunggu sebuah tanggapan, sebuah pertanda, pada waktu yang tepat. Tetapi detik-detik berlalu, hingga sepuluh detik, seluruh kerajaan menyaksikan, dan ia tidak mendengar apa-apa.

Lalu, tiba-tiba, ia melihat wajah ayahnya, memandang muram kepadanya.

Gareth membuka matanya dengan kengerian, ingin menyingkirkan bayangan itu dari pikirannya. Jantungnya berdegup, dan ia merasa itu adalah sebuah pertanda buruk.

 

Sekarang atau tidak pernah.

Gareth mencondongkan tubuhnya, dan dengan seluruh kekuatannya, ia mencoba untuk mencabut pedang itu. Ia berusaha dengan seluruh kekuatannya, sampai seluruh tubuhnya terguncang dan mengejang.

Pedang itu tidak bergeming. Itu terasa seperti mencoba untuk memindahkan seluruh dasar bumi.

Gareth mencoba lebih kuat lagi, lebih keras, dan lebih kuat. Akhirnya, ia tampak mengerang dan menjerit.

Beberapa saat kemudian, ia terjatuh.

Pedang itu tidak bergerak seinci pun.

Desah terkejut menyebar ke seluruh ruangan saat ia jatuh ke tanah. Beberapa penasihatnya bergegas untuk membantunya, memeriksa untuk melihat apakah ia baik-baik saja, dan ia dengan kasar mendorong mereka menjauh. Dengan malu, ia berdiri, berusaha berdiri dengan sendirinya.

Merasa dipermalukan, Gareth memandang ke sekeliling pada bawahannya, ingin mengetahui bagaimana mereka akan memandang ia sekarang.

Mereka telah berbalik pergi, telah keluar dari ruangan itu. Gareth bisa melihat kekecewaan dalam wajah mereka, ia bisa melihat bahwa ia hanyalah tontonan gagal lain di mata mereka. Sekarang mereka semua tahu, masing-masing dan semuanya, bahwa ia bukanlah raja sejati mereka. Ia bukan MacGil yang ditakdirkan dan yang terpilih. Ia bukan apa-apa. Hanyalah pangeran lain yang telah merebut tahta.

Gareth merasakan dirinya sendiri terbakar malu. Ia tidak pernah merasa begitu kesepian pada saat itu. Semua yang telah ia angankan, sejak ia masih kanak-kanak, merupakan suatu kebohongan. Hanya khayalan. Ia telah memercayai dongengnya sendiri.

Dan hal itu menghancurkannya.